Minggu, 27 Mei 2012

BAB I
JARIMAH ZINA
A.    DEFENISI ZINA
Para ulama dalam memberikan definisi zina ini berbeda redaksinya, namun dalam substansinya hampir sama. Berikut ini empat definisi definisi zina menurut beberapa mahdzab;
1.      Pendapat Malikiyah
Malikiyah sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah, memberikan definisi sebagai berikut:
“zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukalaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.”
2.      Pendapat Syafi’iyah
syafi’iyah sebagaimana dikutip Abdul Qadir Audah, memberikan definisi sebagai berikut:
“zina adalah pemasukan zakar ke dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa ada syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat.”
3.       Pendapat Hanabilah
“zina adalah melakukan perbuatan keji (persetubuhan), baik terhadap qubul (farji) maupun dubur.”
Apabila kita perhatikan definisi diatas berbeda dalam redaksi dan susunan kalimatnya, namun dalam intinya sama. Hanya kelompok hanbilahyang memberikan definisi yang singkat dan umum, yang menyatakan bahwa zina adalah melakukan perbuatan keji yang dilakukan pada qubul dan dubur. Dengan demikian hanabilah menegaskan dalam definisinya bahwa hubungan kelamin terhadap dubur dianggap sebagai zina yang dikenakan hukuman had.
B.     UNSUR-UNSUR JARIMAH ZINA

1.      Persetubuhan Yang Diharamkan
Persetubuhan yang dianggap sebagai zina adalah persetubuha dalam farji (kemaluan). Ukuranya adalah apabila kepala kemaluan telah masuk ke dalam farji walaupun sedikit. Juga dianggap sebagai zina meskipun ada penghalang antara zakar dan farji, selama penghalangnya tipis dan tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama.
Disamping itu, kaidah untuk menentukan persetubuhan sebagai zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan pada miliknya sendiri. Dengan demikian apabila persetubuhan terjadi dalam lingkungan hak milik sendiri karena ikatan perkawinan, maka persetubuhan itu tidak dianggap sebagai zina, walaupun persetubuhanya diharamkan karena suatu sebab. Hal ini karena hukum haramnya persetubuhan tersebut datang belakangan karena adanya suatu sebab bukan karena zatnya. Contoh; Menyetubuhi istri yang sedang haid, nifas, atau sedang berpuasa Ramadhan. Persetubuhan ini dilarang tetapi tidak dianggap sebagai zina.
Apabila persetubuhan tidak memenuhi ketentuan tersebut maka tidak dianggap sebaai zina yang dikenai hukuman had, melainkan suatu perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman ta’zir, walaupun perbuatanya itu merupakan pendahuluan dari zina. Contoh; mufakhadzah (memasukkan penis di antara dua paha), atau memasukanya ke dalam mulut, atau sentuhan-sentuhan diluar farji. Demikian pula perbuatan – perbuatan maksiat yang lain yang merupakan pendahuluan dari zina dikenakan hukuman ta’zir. Contohnya seperti berciuman, berpelukan, bersunyi-sunyi dengan wanita asing tanpa ikatan yang sah. Perbuatan ini merupakan rangsangan terhadap perbuatan zina dan harus dikenai hukuman ta’zir.
Dasar hukumnya adalah (QS al Israa’:32);
“dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan merupakan suatu jalan yang buruk”(Terjemahan Qur’an Surat al Israa’:32)
Meskipun pada umumnya para fuqaha telah sepakat bahwa yang dianggap zina itu adalah persetubuhan terhadap farji manusia yang masih hidup, namun dalam penerapanya pada kasus-kasus tertentu mereka kadang-kadang berbeda pendapat. Berikut ini beberapa kasus dan pendapat ulama mengenai hukumnya;
a.       Wathi Pada Dubur (Liwath)
Liwath atau homoseksual merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan bahkan merupakan kejahatan yang lebih keji daripada zina. Liwath merupakan perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia dan sebenarnya berbahaya bagi kehidupan manusia yang melakukannya.
Homoseksual merupakan perbuatan kaum Nabi Luth yang sudah mendarah daging. Nabi Luth sudah sering memperingatkan mereka tetapi mereka tidak mengindahkanya, sehingga pada akhirnya mereka di hukum Allah swt kecuali Nabi Luth dan para pengikutnya. Kisah ini diceritakan dalam Surat al A’raaf ayat 80-84, dan Surat Huud ayat 77-82
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu , yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.”(Terjemahan Qur’an Surat al A’raaf : 80-84)
Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit .” Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji . Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada ALLAH dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal ?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal , kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?”. Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi,
(Terjemahan Qur’an Surat Huud:77-82)
Di samping itu, hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan homoseksual adalah di bunuh. Dasar hukumnya adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w;
“barang siapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum kaum Nabi Luth maka bunuhlah yang melakukan dan yang diperlakukan.”
b.      Menyetubuhi Mayat
Dalam kasus tindak pidana menyetubuhi mayat ini para ulama juga berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat dari mahzab Syafi’i dan Hambali, bahwa perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai zina yang dikenakan hukuman had. Dengan demikian, pelaku hanya dikenai hukumn ta’zir. Alasanya bahwa persetubuhan dengan mayat dapat dianggap seperti tidak terjadi persetubuhan, karena organ tubuh mayat sudah tidak berfungsi dan menurut kebiasaanya hal itu tdak menimbulkan syahwat. Pendapat ini juga pendapat Syi’ah Zaydiyah
Menurut pendapat yang kedua dari mahdzab Syafi’i dan Hambali, perbuatan tersebut dianggap sebagai zina yang dikenai hukuman had apabila pelakunya bukan suami istri. Sebabnya adalah perbuatan tersebut merupakan persetubuhan yang diharamkan dan lebih berat daripada zina dan lebih besar dosanya. Karena didalamnya terkandung dua kejahatan, yaitu zina dan pelanggaran kehormatan mayat.
Imam Malik berpendapat apabila seseorang menyetubuhi mayat, baik pada qubulnya maupun pada duburnya, dan bukan pula istrinya, maka perbuatan itu dianggap sebagai zina dan pelaku dikenai hukuman had. Namun apabila yang disetubuhinya itu istrinya sendiri yang telah meninggal, ia tidak dikenai hukuman had. demikian pula apabila yang melakukanya itu seorang wanita maka ia hanya dikenai hukuman ta’zir.
c.        Menyetubuhi Binatang
Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa menyetubuhi binatang tidak dianggap sebagai zina, tetapi merupaka perbuatan maksiat yang dikenai hukuman ta’zir. Demikian pula apabila itu dilakukan seorang wanita terhadap binatang jantan, seperti kera atau anjing.
Di kalangan mahzab Syafi’i dan Hambali ada dua pendapat. pendapat yang rajih (kuat) sama dengan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik, sedangkan menurut pendapat yang ke dua, perbuatan tersebut dianggap sebagai zina dan hukumanya adalah hukuman mati.
Dasar hukumnya adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w;
“barang siapa yang menyetubuhi binatang maka bunuhlah ia dan bunuhlah pula binatang itu.”(Terjemahan hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi)
Namun sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa hukumanya sama dengan zina. Apabila muhshan maka hukumanya rajam, apabila ia ghair muhshan maka hukumanya di dera seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Pendapat ini merupakan pendapat yang rajih (kuat) dalam mahzab Syi’ah zaydiyah, sementara pendapat yang marjuh (lemah) sama dengan pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.
Selanjutnya apabila yang melakukan persetubuhan dengan binatang itu seorang wanita maka menurut pendapat Maliki dan hanbali hukumanya sama dengan pelaku laki-laki. Adapun menurut sebagian pendapat Syafi’iyah, pelaku wanita hanya dikenakan hukuman ta’zir.
d.      Persetubuhan Dengan Adanya Syubhat
Adapun yang dimaksud dengan syubhat adalah;
“sesuatu yang menyerupai tetap (pasti) tetapi tidak tetap (pasti).”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa syubhat itu adalah suatu peristiwa atau keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan berada di antara ketentuan hukum, yaitu dilarang atau tidak. Dalam hubunganya dengan persetubuhan (wathi’), yang dianggap sebagai syubhat adalah apabila terdapat suatu keadaan yang meragukan, apakah persetubuhan itu dilarang atau tidak. Misalnya adanya keyakinan pelaku bahwa wanita yang disetubuhinnya itu adalah istrinya padahal sebenarnya bukan, dan keadaan waktu itu sedang gelap, dan wanita itu berada di kamar istrinya. Keadaan ini merupakan syubhat dalam prsetubuhan (wathi’) sehingga pelaku bisa dibebaskan dari hukuman had.
Golongan Syafi’i membagi syubhat ini kepada tiga bagian sebagai berikut;
1)      syubhat dalam objek atau tempat
Contohnya adalah menyetubuhi isteri yang sedang haid atau sedang berpuasa, atau menyetubuhi istri pada duburnya.
2)      syubhat pada dugaan pelaku
Contohnya menyetubuhi wanita yang tidur di kamar seorang suami yang di sangka sebagai istrinya, padahal sebenarnya seorang tamu.
3)      syubhat pada jihat atau aspek hukum
Contohnya : nikah tanpa wali. Imam Abu Hanifah membolehkanya, sedangkan ulama lain, seperti Imam Syafi’i tidak membolehkanya. but, pelaku tidak dikenakan hukuman had.

Golongan Hanafiyah membagi syubhat tersebut menjadi dua bagian:

1)      syubhat dalam perbuatan
Contohnya adalah laki-laki yang menyetubuhi istrinya yang sudah ditalak tiga tetapi masih dalam iddah.
2)      syubhat dalam tempat atau objek
Syubhat ini disebut syubhatul hukmiyah atau syubhatul milk. Hanafiyah memberikan contoh delapan kasus jarimah zina yang termasuk syubhatul mahal (syubhat dalam objek). Tujuh kasus diantaranya berkaitan dengan persetubuhan terhadap jariyah atau hamba sahaya. Akan tetapi karena zaman ini masalah sahaya telah dihapuskan maka hal itu tidak dibicarakan disini. Adapun syubhat yang satu lagi adalah menyetubuhi istri yang ditalak bain bil kinayah (dengan sindiran).
Dalam hubungan dengan syubhat dalam wathi’ karena adanya akad ini, berikut ini akan dikemukakan contoh beberapa kasus sebagai berikut.
a)      wathul maharim
Adapun yang dimaksud dengan wathul maharim adalah menyetubuhi wanita muhrim yang dinikahiPersetubuhan Dalam Pernikahan Yang Batal
b)      persetubuhan dalam pernikahan yang diperselisihkan hukumnya
c)      Persetubuhan karena dipaksa
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada hukuman had bagi wanita yang dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang (zina). Dalam hal ini keadaan tersebut dapat digolongkan kepada keadaan darurat. Dasar hukumnya adalah ;
“…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya…”(Terjemahan Qur’an Surat al Baqarah [2]:173)
“…ALLAH telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…”(Terjemahan Qur’an Surat al An’am [6]:119)
Alasan lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn majah, Baihaqi. Nabi Muhammad bersabda;
“sesungguhnya Allah mengampuni umatku atas perbuatan yang dilakukan karena kekeliruan, lupa, dan apa yang dipaksakan atas nya”

e.       Kekeliruan Dalam Persetubuhan

Kekeliruan atau kesalahan dalam persetubuhan ini ada dua kemungkinan, yaitu kekeliruan dalam persetubuhan yang mubah dan kekeliruan dalam persutubuhan yangb diharamkan.
[1] kekeliruan dalam persetubuhan yang mubah
Apabila terjadi kekeliruan dalam persetubuhan yang diharamkan maka pelaku tidak dikenai hukuman, karena ia tidak memiliki niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Dasar hukumnya adalah;
“…Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf (keliru) padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu…”(Terjemahan Qur’an Surat al Ahzaab [33]:5)
Dasar hukum yang lain adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al Baihaqi dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad bersabda;
“sesungguhnya ALLAH swt mengampuni dari umatku atas perbuatan yang dilakukan karena kesalahan, lupa, dan apa yang dipaksakan atasnya”(Terjemahan hadits riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas)
Dengan adanya kekeliruan ini maka terdapatlah syubhat dalam persetubuhan yang dapat mengakibatkan gugurnya hukuman had. Contoh kekeliruan macam pertama ini adalah seperti seseorang yang menyetubuhi seorang wanita yang disangka sebagai isterinya, karena wanita sedang berbaring di kamar tidur suami, padahak ia seorang tamu atau saudara kembar istri.
[2] kekeliruan dalam persetubuhan yang diharamkan

f.       Perkawinan Setelah Terjadinya Zina
Perkawinan yang menyusul setelah terjadinya zina dianggap sebagai syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah menurut riwayat Abu Yusuf. Akan tetapi menurut riwayat Muhammad bin Hasan, perkawinan tersebut tidak dianggap sebagai syubhat, karena persetubuhan tersebut merupakan zina yang terjadi sebelum timbulnya hak milik. Disamping itu, perkawinan itu tidak belaku surut, karena dalam kasus ini tidak ada syubhat.

g.      Utuhnya Selaput Dara
Utuhnya selaput dara merupakan syubhat bagi hak orang yang terbukti oleh saksi melakukan perbuatan zina.
Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa wanita tersebut tetap harus dikenai hukuman had, karena pembuktian dengan saksi yang menyatakan dilakukanya zina harus didahulukan untuk diterima sebagai bukti daripada hasil pemeriksaan dokter yang menerangkan keutuhan selaput dara yang seolah-olah menunjukan wanita tersebut tidak melakukan zina. Disamping itu terdapat pula kemungkinan terjadinya persetubuhan tanpa merusak selaput dara.

2.      Adanya Kesengajaan atau Niat Melawan Hukum
Unsur yang kedua dari jarimah zina adalah niat dari pelaku yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan (persetubuhan) padahal ia tahu yang disetubuhinya adalah wanita yang diharamkan baginya. Dengan demikian apabila seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja, tetapi tidak tahu perbuatan yang dilakukanya haram maka ia tidak dikenai hukuman had. Contoh; seorang yang menikahi wanita yang bersuami yang merahasiakan statusnya kepadanya. Apabila dilakukan persetubuhan setelah terjadinya pernikahan, pria itu tidak dikenai pertanggungjawaban (tuntutan) selama ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita itu masih ada ikatan dengan pria lain. Contoh lain adalah wanita yang menyerahkan dirinya pada bekas suaminya yang telah men-talak-nya denngan talak bain dan wanita itu tidak tahu bahwa wanita itu telah di talak.
Apabila seseorang tidak tahu tentang fasid atau batalnya suatu pernikahan yang mengakibatkan persetubuhanya bisa dianggap sebagai zina, sebagian ulama berpendapat bahwa alasan tidak tahunya itu tidak bisa diterima karena hal itu dapat mengakibatkan gugurnya hukuman had. Disamping itu merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang untuk mengetahui setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’.
C.     HUKUMAN JARIMAH ZINA
  1. Perkembangan Hukuman Zina
Pada permulaan Islam, hukuman untuk tindak pidana zina adalah dipenjarakan di dalam rumah dan disakiti, baik dengan pukulan di badanya maupun dengan dipermalukan. Dasar hukumnya adalah firman Allah surat An Nisaa’ ayat 15-16;
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”{Al Qur’an Surat An Nisaa’ [4]:15-16}
Kemudian terjadi perkembangan dan perubahan dalam hukuman zina, yaitu turunya Surat An-Nuur ayat 2;
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”{Al Qur’an Surat An-Nuur [24]:2}
Kemudian lebih diperjelas oleh Nabi Muhammad dengan Sunah Qowliyah dan Fi’liah. Adapun Sunah Qowliyah yang menjelaskan hukuman zina antara lain adalah sebagai berikut;
Nabi Muhammad bersabda;“ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar (hukuman) bagi mereka (pezina). Jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.”
Dengan turunya Surat An-Nuur ayal 2 dan penjelasan Rasulullah ini maka hukuman yang tercantum dalam surat An Nisaa’ ayat 15-16 telah dihapus (mansukh). Dengan demikian hukuman untuk pezina berdasarkan ayat dan hadits diatas dirinci menjadi dua bagian sebagai berikut:
a. dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum berkeluarga (ghair muhshon).
b. rajam bagi yang sudah berkeluarga (muhshon) disamping dera seratus kali.
Akan tetapi bagi ulama yang tidak menerima nasikh mansukh, surat An Nisaa’ 15-16 tersebut masih berlaku dan tidak di nasakh oleh Surat An-Nuur ayat 2. Hanya saja penerapanya berbeda. Surat An Nisaa’ berlaku bagi wanita yang melakukan hubungan intim dengan wanita (lesbi), sedangkan surat An Nisaa’ ayat 16 bagi pelaku homosexual (liwath), sedangkan Surat An-Nuur ayat 2 berlaku bagi laki-laki dan wanita yang berzina.
  1. macam macam hukuman zina
Dari ayat dan hadits yang dikemukakan diatas dapat diketahui bahwa hukuman zina itu ada dua macam, tergantung pada keadaan pelakunya apakah sudah berkeluarga (muhshon) atau belum berkeluarga (Ghair muhshon).
  1. hukuman untuk zina Ghair muhshon
Zina Ghair muhshon adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk zina Ghair muhshon ini ada dua macam, yaitu:
1)      Hukuman dera
Apabila jejaka dan gadis melakukan perbuatan zina, mereka dikenai hukuman dera seratus kali. Hal ini didasarkan pada Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 dan hadits Nabi Muhammad;
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”{Al Qur’an Surat An-Nuur [24]:2}
Hukuman dera adalah hukuman had yaitu hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Oleh karena itu hakim tidak boleh mengurang, menambah, menunda pelaksanaanya atau menggantinya dengan hukuman yang lain. Disamping telah ditentukan oleh syara’ hukuman hada adalah hak Allah sehingga pemerintah maupun individu tidak boleh memberikan pengampunan.
2)      hukuman pengasingan
Hukuman yang kedua untuk zina Ghair muhshon adalah pengasingan selama satu tahun hukuman ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ubadah bin ash Shomit.
“…dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.”
Di samping hadits tersebut, jumhur ulama beralasan dengan tindakan sahabat antara lain sayidina Umar dan Ali yang melaksanakan hukuman dera dan pengasingan ini, dan sahabat sahabat yang lain tidak ada yang mengingkarinya. Dengan demikian hal ini bisa disebut ijma’.
  1. hukuman untuk zina muhshon
Zina muhshon adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami/beristri). Hukuman untuk pelaku zina muhshon ini ada dua macam;
1)      dera seratus kali, dan
2)      rajam
Hukuman dera seratus kali didasarkan kepada al Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 dan hadis Nabi yang dikemukakan di atas, sedangkan hukuman rajam juga di dasarkan kepada hadits Nabi baik Qowliyah maupun Fi’liah.
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau sejenisnya. Hukuman rajam merupakan hukuman yang telah diakui dan diterima oleh hampir semua fuqoha, kecuali kelompok Azariqoh dari golongan Khowarij, karena mereka ini tidak mau menerima hadits, kecuali yang sampai pada tingkatan mutawatir. Menurut mereka, hukuman untuk pezina muhshon maupun Ghairu muhshon adalah hukuman dera seratus kali berdasarkan firman Allah dalam Surat An-Nuur ayat 2.
 “tiga kelompok yang Allah tidak mau melihat dan membersihkanya, dan bagi mereka disediakan siksa yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja yang banyak berdusta, dan pegawai yang sombong.”(terjemahan hadits riwayat Muslim dan Nasa’i)
D.    PEMBUKTIAN UNTUK JARIMAH ZINA
Pelaku jarimahh zina dapat dikenaihukuman had apabila perbuatanya telah dapat dibuktikan. Untuk jarimah zina ada tiga macam cara pembuktian:
  1. Pembuktian Dengan Saksi
a.       urat An Nisaa’, ayat 15
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atausampai Allah memberi jalan lain kepadanya.”{Terjemahan Surat An Nisaa’ [4]:15}
b.      surat An Nuur ayat 4
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”{Terjemahan Surat An Nuur [24]:4}
Syarat-syarat saksi
1)      Syarat-syarat umum
Untuk dapat diterima persaksian, harus dipenuhi syarat-syarat yang umum berlaku untuk semua jenis persaksian dalam setiap jarimah. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
a)      balig (dewasa)
b)      berakal
c)      kuat ingatan
d)     dapat berbicara
e)      dapat melihat
f)       adil
g)      Islam
2)      syarat-syarat khusus untuk jarimah zina
Disamping syarat-syarat umum yang telah disebutkan, untuk persaksian dalam jarimah zina harus dipenuhi syarat-syarat khusus. Syarat-syarat khusus ini adalah sebagai berikut;
a)      laki-laki
b)      al-ishalah
c)       peristiwa zina belum kedaluarsa
d)     pesaksian harus dalam satu majelis
e)  bilangan saksi harus empat orang
  1. PEMBUKTIAN DENGAN PENGAKUAN
Pengakuan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk jarimah zina, dengan syarat-syarat sebagai berikut;
a. menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, pengakuan harus dinyatakan sebanyak empat kali, dengan mengqiaskanya pada empat orang saksi dan beralasan pada hadis Ma’iz yang menjelaskan tentang pengakuanya sebanyak empat kali di depan Rasulullah s.a.w bahwa dia telah melakukan perbuatan zina.
b. pengakuan harus terperinci dan menjelaskan tentang hakikat perbuatan,
c. pengakuan harus sah atau benar, dan hal ini tidak mungkin timbul kecuali dari orang yang berakal dan mempunyai kebebasan.
d. Imam Abu Hanifah mensyaratkan bahwa pengakuan harus dinyatakan dalam sidang pengadilan.
  1. Pembuktian Dengan Qorinah
Qorinah atau tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah zina adalah timbulnya kehamilan pada wanita tidak bersuami, atau tidak diketahui suaminya. Disamakan dengan wanita tidak bersuami, wanita yang kawin dengan anak kecil yang belum balig, atau orang yang sudah balig tetapi kandunganya lahir sebelum enam bulan.
Dasar penggunaan qorinah sebagai alat bukti untuk jarimah zina adalah ucapan sahabat dan perbuatanya. Dalam salah satu pidatonya sayidina umar berkata:
“dan sesungguhnya rajam wajib dilaksanakan berdasarkan kitabulloh atas orang yang berzina, baik laki-laki maupun perempuan apabila ia muhshon, jika terdapat keterangan (saksi) atau terjadi kehamilan, atau ada pengakuan. (Muttafaq Alayh)
E.     PELAKSANAAN HUKUMAN
Apabila jarimah zina sudah bisa dibuktikan dan tidak ada syubhat maka hakim harus memutuskanya dengan menjatuhkan hukuman had, yaitu rajam bagi muhshon dan dera seratus kali ditambah pengasingan selama satu tahun bagi pezina ghair muhshon.
1.      siapa yang melaksanakan hukuman
Para fuqoha telah sepakat bahwa pelaksanaan hukuman had harus dilakukan oleh khalifah (kepala negara) atau wakilnya (pejabat yang ditunjuk). Hukuman had harus dilaksanakan secara terbuka di muka umum sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nuur ayat 2;
“…hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”{Terjemahan Qur’an Surat An Nuur [24]:2}
2.      cara pelaksanaan hukuman rajam
Hukum rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari dengan batu atau benda benda lain. Menurut Imam Abu Hanifah lemparan pertama dilakukan oleh para saksi apabila hukumanya dilakukan dengan saksi. Setelah itu diikuti oleh Imam atau pejabat yang ditunjuknya dan diteruskan oleh masyarakat. Namun ulama yang lainya tidak mensyaratkan demikian.
3.      Cara pelaksanaan hukuman dera (jilid)
Hukuman dera dilaksanakan dengan menggunakan cambuk, dengan pukulan yang sedang sebanyak 100 kali cambukan. Disyaratkan cambuk tersebut harus kering, tidak boleh basah, karena bisa menimbulkan luka. Disamping itu juga disyaratkan cambuk tersebut ekornya tidak boleh lebih dari satu. Apabila ekor cambuk lebih dari satu ekor, jumlah pukulan dihitung sesuai dengan banyaknya ekor cambuk tersebut.
F.      HAL-HAL YANG MENGGUGURKAN HUKUMAN
Hukuman had zina tidak bisa dilaksanakan atau gugur karena hal-hal berikut.
1. karena pelaku mencabut pengakuanya apabila zina dibuktikan dengan pengakuan.
2. karena para saksi mencabut persaksianya sebelum hukuman dilaksanakan.
3. karena pengingkaran oleh salah satu pelaku zina atau mengaku sudah kawin apabila zina dibuktikan dengan pengakuan salah seorang dari keduanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah. Akan tetapi menurut jumhur ulama, pengingkaran tersebut tidak menyebabkan gugurnya hukuman. Demikian pula pengakuan telah kawin menurut jumhur tidak menyebabkan gugurnya hukuman, kecuali apabila ada petunjuk atau bukti bahwa kedua pelaku zina itu memang sudah menikah.
4. karena hilangnya kecakapan para saksi sebelum pelaksanaan hukuman dan setelah adanya putusan hakim. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi. Akan tetapi mazhab-mazhab yang lain tidak menyetujuinya.
5. karena meninggalkan saksi sebelum hukuman rajam dilaksanakan. Pendapat ini juga merupakan pendapat mazhab Hanafi, tidak menurut mazhab yang lainya.
6. karena dilaksanakanya perkawinan antara pelaku zina tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Yusuf murid Abu Hanifah. Akan tetapi menurut fuqoha yang lain, perkawinan setelah terjadinya perbuatan zina tidak menggugurkan hukuman had, karena hal itu bukan merupakan syubhat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar